Sabtu, 07 Maret 2015

Imam Syafi'i, Cahaya Pembaharu Islam, Pelajaran Berharga Bagi Setiap Penimba Ilmu (bag1)



Imam Syafi'i adalah salah satu (mujaddid) pembaharu agama abad pertama hijriyah yang mahzabnya (pemikirannya) diikuti oleh mayoritas umat islam dunia, khususnya umat islam di Indonesia. Kesuksesan beliau dalam meraih segala bidang ilmu terlebih bidang fiqih tentulah melalui perjuangan yang amat panjang, beliau rela hijrah ke beberapa negara yang jauh dari kampung halamannya Mekkah, tanah yang begitu berkah demi menggambil manfaat ilmu dari guru-guru yang ingin belau kuasai ilmunya.

Hal yang melatar belakangi kesuksesan beliau dalam menggapai ilmu adalah himmah yang begitu tinggi sehingga sanggup menanggung penderitaan demi ilmu yang begitu valueable. ia telah menghafal Al-Qur'an diusia 9 tahun, dan diusia 10 tahun kitab Al-Muwatha yang merupakan karya besar Imam Malik hanya beliau hafal dalam waktu 9 hari.

Imam Syafi'i sendiri merupakan putra Idris dan Fatimah, yang merupakan keturunan suku Quraisy bermarga bani Mutholib, yang dengan demikian menandakan bahwasanya beliau merupakan keturunan baginda nabi Muhammad Saw.

Nama asli imam Syafi'i adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, meski demikian penyebutan nama Syafi'i lebih deikenal dari nama aslinya. Syafi'i sendiri meupakan nama kakek beliau yang ke 3 yakni Syafi'i bin Sa'ib. Imam Syafi'i merupakan nama dari Muhammad bin Idris yang dinisbatkan pada Syafi'i yang merupakan sahabat nabi.

Kedua orang tua imam Syafi'i merupakan penduduk asli Mekkah, keduannya kemudian berhijarah ke negri Syam dan tinggal di Gaza. ditanah ribath inilah anugrah yang begitu besar bagi keduanya dan juga bagi umat islam, Imam Syafi'i dilahirkan tepatnya 150 Hijriyah. namun pada kejadiaan penting selanjutnya adalah tidak dapatnya ayah imam Syafi'i menyaksikan anaknya menjadi cahaya keilmuan diseluruh penjuru negeri islam karena ia dijemput oleh Allah terlebih dahulu saat sang anak berusia 2 tahun.

Namun kemudian ibunda imam Syafi'i memutuskan untuk membawa anaknnya kembali ke kampung halaman mereka, Mekkah Al-Mukarommah, mungkin agar hubungan putranya dan bangsa Quraisy tidak terputus dan agar mereka memperoleh tunjangan kehidupan dari pemerintah islam yang memberi santunan kepada dua marga, yakni bani Hasyim dan Muthalib.

Kemiskinan dan keprihatinan hidup setibanya mereka di Mekkah tidak menghalangi Fatimah untuk menitipkan putranya ke tempat belajar, mungin karena ia melihat kecermelangan pada diri putra tercintannya disamping ketekunan yang tidak mampu dijangkau anak-anak remaja seusiannya. kekurangan dalam belajar tidak menjadi alasan dan hambatan bagi imam Syafi'i untuk belajar, meski tidak mempu membeli kertas, ibunya tidak malu mengais pelepah kurma, tulang-tulang unta dan pecahan genting untuk  dijadikan media menulis ilmu yang diterima dari sang guru.

Kecintaan imam Syafi'i pada sastra arab menjadi pendorong beliau berhijrah meninggalkan kampungnnya menuju perkampungan bani Hudzail yang masih murni bahasanya meski pun dalam keadaan berpindah-pindah. dihafalkan olehnya ribuan bait-bait syair dan nasab-nasab orang arab yang kemudian menjadikannya ahli dalam sastra arab.

Kegairahaan beliau terhadap ilmu lelulurnya menggugah semangat beliau untuk mendalami ilmu fiqih, dipinjamlah olehnya kitab Muwatha' karya Imam Malik bin Anas yang pada saat itu dikagumi dan banyak dikaji semua kalangan. bahkan bukan hanya meminjam, beliau hafalkan kitab itu, sementara beliau pada saat itu baru berusia 10 tahun, hal sangat menakjubkan yang dilakukan oleh seorang anak kecil yang lebih memiliki kecendrungan bermain untuk anak-anak diusiannya.

Kemudian mulailah beliau mempelajari ilm-ilmu yang berkaitan dengan ilmu fiqih pada ulama-ulama Makkah, sehingga diusia lima belas tahun beliau sudah diberi izin oleh para gurunya diMakkah untuk memberi fatwa di Masjidil Haram. meski beliau telah mencapai prestasi yang sangat luar biasa di kota Makkah, sama sekali tidak membuat beliau sombong dan berpuas diri dengan apa yang telah diraihnya.

Bahkan semangat keilmuan beliau mendorongnya untuk berhijrah ke Madinah, mengabdi dan belajar kepada Imam Malik bin Anas yang selama ini menjadi figur ulama panutannya. Agar dapat merealisasikan keinginannya berguru kepada Imam Malik, beliau yang saat itu berusia tujuh belas tahun menghadap gubernur Makkah untuk meminta restu dan bantuan serta surat rekomendasi gubernur Makkah untuk gubernur Madinah agar sudi memasrahkan beliau kepada Imam Malik yang sangat dikenal disiplin dan teguh memegang prinsip dan aturan agama Islam.

Setelah mendapat surat rekomendasi dan bantuan biaya untuk beberapa hari, maka berangkatlah sang cahaya pembaharu agama menuju sumber Madinah yang penuh cahaya setelah hijrahnya sang kekasih Allah Muhammad Saw, untuk berkhidmat kepada Imam Malik, sang ulama panutan.

Perpisah dengan kampung halaman dan kerabat tercinta merupakan hal yang sangat menyedihkan begi setian insan, tak terkecuali Imam Syafi'i. Baginya perjalanan menuju Madinah merupakan perjalanan yang sangat berat dan dieasa sangat menyedihkan baginya, bagaimana tidak sebab ini merupakan perantauan pertamanya yang mana beliau akan meninggalkan rekan, guru, tetangga saudara dan ibunya yang sangat dicintainya yang telah membesarkannya seorang diri, dan akan iantinggalkan dalam kedaan sendiri pula.

Hal ini pernah beliau utarakan kepada para muridnya didalam Maqolahnya, "tiada kesedihan yang lebih berat dari pada perpisahan dengan orang-orang yang dicintai."

ليس سرور يعدل صحبة اللللاخوان,ولا خم يعدل فراقهم
artinya: "tiada kebahagiaan yang menandingi kebahagiaan berjumpa dengan teman, dan tiada kesedihan  yang menyakitkan dari pada berpisah dengan mereka."

Namun lagi-lagi semangat belajar beliau tidaklah menyusut, bahkan membakar semnagatnya dan menghapus seluruh kesedihannya sampai tiada tersisa kecuali keinginan untuk menggapai cita-cita yang menggemuruh didalam hatinya, atau kematian menjemputnya ditanah rantai, dijalan Allah dalam keadaan menimba ilmu. Beliau bahkan mengatakan bait kalimat yang membakar semangat siapa saja yang merenungi tiap penggal kalimat yang beliau ucapkan:

"Aku akan pergi menjelajah seluruh negara, akan ku gapai semua cita-citaku atau aku akan mati sebagai orang rantau. Bila aku mati kebajikannya bagi Allah, dan bila aku selamat kembali ketanah air tidak akan lama."

Kaki beliau begitu mantap melangkahkan kaki meninggalkan kota leluhurnya yang sangat disucikan oleh umat muslim seluruh dunia, sambil menitihkan air mata, hal yang sangat wajar yang dialami oleh setiap manusia yang mengalami perpisahan.
Terpaan padang pasir dengan panasnya yang begitu membara serta dinginnya padang sahara dimalam hari menuju Madinah mengingatkan beliau pada peristiwa hijrah Rasulullah, hal ini semakin memompa semangat dan keyakinan beliau akan kebehasilan yang akan beliau dapatkan dan mengusir kesedihan hidup beliau.


bersambung...








   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar