Minggu, 15 Maret 2015

Belajar Cinta Dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, di Satukan di Langit Sebelum di Bumi




Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun, Fathimah, karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Rasul yang adalah sepupunya itu, sungguh mempesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis, Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya
(Al-Amin) tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu pun bangkit, dengan anggunnya ia berjalan menuju Ka’bah di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta, tapi ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan, Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Rasulullah. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah, lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan dialah Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu, orang menemani Rasulullah berhijarah ketika kaum musyrikin Makkah memburu mereka, orang yang membenarkan perkataan Rasulullah tanpa ragu, yang dengan yakinnya mempercayai berita mi’rajnya Rasulullah ketika orang-orang meragukan. Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali, ia merasa diuji karena merasa bukan siapa-siapa jika dibanding Abu Bakr r.a. Adapun kedudukannya di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. 

Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah, lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr, sebut saja ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali. Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar diantara mereka ada Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud. Lalu siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
 
Lamaran Abu Bakr ditolak, dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya ia, membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang bahkan membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut. 

‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar.”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, ia hanya berani berjalan di kelam malam, selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir, menanti dan bersembunyi. Sedangkan ‘Umar telah berangkat sebelumnya ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani, ‘Ali sekali lagi sadar.

Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah, Tidak! ‘Umar jauh lebih layak dan ‘Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan

 
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak, lamaran ‘Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka, atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

Tapi saat itu Ali belum berani mengambil sikap, dia sadar dia hanyalah pemuda miskin. Bahkan hanya satu set baju besi sajalah harta yang ia miliki, ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Kepada Abu Bakar As Siddiq, 'Ali berkata ketika pemimpin para orang tua disurga itu datang menawarkan kepadanya tawaran yang telah lama terpendam, penuh sesak didalam hatinya, yakni tawaran untuk melamar sang putri baginda Rasulullah. "Wahai Abu Bakr, anda telah membuat hatiku goncang yang sebelumnya tenang, anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karana aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakr terharu dan mengatakan, "Wahai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu-debu bertaburan belaka!" Mendengar jawaban Abu Bakr, kepercayaan diri Ali kembali muncul untuk melamar gadis pujaannya saat teman-temannya sudah mendorong agar 'Ali berani melamar Fatimah.

“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

Dengan ragu-ragu ‘Ali pun menghadap Rasulullah, maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi, ia tahu secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi dirumahnya ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggung jawab atas cintanya, pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
 
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah, sekarang, bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentleman sejati, tidak heran jika pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan, La Shaifan illa Zulfikar! Tak ada pemuda kecuali Ali, tidak pedang kecuali zulfikar!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti seperti ‘Ali, ia mempersilakan atau mengambil kesempatan, yang pertama adalah pengorbanan, yang kedua adalah keberanian.

Dari hadist riwayat Ummu Salamah diceritakan bagaimana proses lamaran tersebut.
"Ketika itu kulihat wajah Rasulullah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum baginda berkata kepada Ali bin Abi Talib, 'Wahai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal mas kawin? 
"Demi Allah," jawab Ali bin Abi Talib dengan terus terang, "Engkau sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak engkau ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasulullah menanggapi jawaban Ali bin Abi Talib, "Engkau tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga perlu untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu, aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar mas kawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. 
Wahai Ali, engkau wajib bergembira, sebab Allah sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!". Demikianlah riwayat yang diceritakan Ummu Salamah r.a.

Juga sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan Imam Abu Dawud dan an-Nasa`i dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Berikanlah sesuatu kepadanya.” Maksud beliau sebagai mahar pernikahan, 'Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya, “Lalu di mana baju perang huthamiyah milikmu.” Hadits mengenai proses khitbah ‘Ali ini dishahihkan oleh al-Hakim. Yang dimaksud baju perang huthamiyah adalah penisbatan kepada Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais pembuat baju perang. Ada yang berkata, baju perang disebut dengan huthamiyah karena ia tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.

Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rasulullah, bukan main gembiranya hati ‘Ali. Setelah segala sesuatunya siap sedia, dengan perasaan puas dan hati gembira, dan disaksikan oleh para sahabat, Rasulullah mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya, kemudian Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”



Maka ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dilain kesempatan, ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?” 
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.

Selanjutnya bagaimana kehidupan pasangan suami istri ini? Pernikahan mereka penuh dengan hikmah walau diarungi di tengah kemiskinan. Bahkan disebutkan Rasulullah sangat terharu melihat tangan Fatimah yang kasar karena harus menepung gandum untuk membantu suaminya. Imam al-Bukhari memaparkan dalam shahihnya sepenggal kisah dari kehidupan Ali dengan Fatimah. 

Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang mendapatkan tawanan perang, Fatimah pergi kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tetapi dia tidak bertemu dengan beliau, dia bertemu Aisyah, Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pulang Aisyah mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. 'Ali berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur, aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku, jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu.”

Demikianlah Kisah cinta suci 'Ali bin abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, kisah cinta suci yang tidak menuntut untuk memiliki, yang mendahulukan kebahagiaan orang lain dibanding diri sendiri. Cinta yang dibalut dalam bingkai suci ketaatan dan kesabaran, keberaniaan dan pengorbanan. Cinta yang tertata rapih tak mengumbar syahwat, yang bahkan setan pun tidak mengetahuinya, yang akhirnya Allah pertemukan jua, yang dinikahkan di langit oleh tuhan empunya cinta. 
Karna sesungguhnya mencintai secara diam-diam adalah jihad, jihad menundukan hawa nafsu dan kehendak hati. 

(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar