Selasa, 07 April 2015

#KembalikanMediaIslam, Jangan Sodorkan Kembali Era ORBA Kepada Kami

 Awalnya saya hanya mengikuti perkembangan dan situasi terkini mengenai islam dan muslim diseluruh dunia pada umumnya dan di Indomesia khusunya, melalui media sosial maupun media massa online. Setelah membaca, meneliti, membandingkan, menelusuri sumber dan narasumber, validasi data untuk kemudian meng-analisis sebagai bahan pertimbangan pribadi terkait isu dan masalah yang diangkat pada suatu artikel dalam rangka tabayyun, barulah kemudian saya membagikannya.

Saya membagikannya sekedar untuk membantu tersebarnya manfaat dan kebaikan yang ada pada tulisan tersebut, agar media sosial dipenuhi dengan arus massive mengenai kebaikan, dakwah, dan pelurusan atau penyeimbangan opini.

Jarang sekali saya menulis secara pribadi opini terkait suatu peristiwa atau isu yang sedang hangat berkembang dimasyarakat. Mengingat terbatasnya waktu disebabkan jadwal belajar dan mengajar di pondok pesantren yang cukup padat, (yang pernah nyantri pasti paham). Namun kemarin saya mendapat reply di twitter terkait keikutsertaan saya "bergeriliya" me-retweet beberapa tweet dari teman-teman yang mendukung penolakan terhadap keputusan sepihak Kemenkominfo yang dikomandoi BNPT dalam melakukan pemblokiran 22 situs media online islam yang selama ini telah banyak memberi pencerahaan dan menjadi penyeimbang ditengah pemberitaan media pemerintah-pro pemerintah yang kadang sepihak dan terkesan tidak amanah kepada umat.

Namun ternyata dikemudian hari kedua lembaga negara ini saling tuduh dan berlepas tangan akan tindakan pemblokiran yang mereka lakukan secara sepihak, tanpa mediasasi dan dengan alasan yang hanya bisa diterima oleh "orang-orang yang memiliki tingkat kecerdasan otak diatas rata-rata dalam memaknai radikalisme melalui sudut pandang Paranoid Personality Disorder". Hal ini dikarnakan respon luar biasa dari netizen, dan masyarakat Indonesia secara umum yang tidak habis fikir bagaimana dua lembaga negara ini memaknai kebebasan pers.

Akhirnya mereka membuat dalih-dalih untuk mengelak, mulai dari masalah khilafiyah dalam agama, bid'ah, tahlilan, sebagaimana yang terekam dalam dialog antara BNPT, Wakil MPI Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya beserta direktur Gema Islam Budi Martan Saudin yang disiarkan oleh TV One. Hingga pada alasan yang jauh dari konteks memerangi radikalisme yang selama ini mereka wacanakan, menjelek-jelekan Jokowi katanya sampai  pada alasan pemblokiran dilakukan karena media terkait menggunakan domain .com karena domain Amerika, bukan .co.id yang merupakan domain Indonesia.

Dalam tulisan yang di sampaikan oleh saudara kita Ahmad Dicky Sofyan dan di posting oleh damailahindonesiaku.com kemudian di reply ke twitter saya, beliau seolah ingin menggiring opini dan melakukan pembelaan ditengah dukungan yang semakin meluas dari masyarakat Indonesia kepada media islam serta kekecewaan atas arogansi dua lembaga tadi. Seolah ingin menggambarkan bahwa pemerintahan adalah mutlak benar dan tidak perlu melibatkan elemen-elemen masyarakat yang kompeten dibidangnya dalam memerangi terorisme dan radikalisme. BNPT melalui surat Nomor 149/K.BNPT/3/2015 meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 19 situs web. Pemblokiran itu dilakukan karena situs-situs tersebut dianggap sebagai situs penggerak paham radikalisme dan sebagai simpatisan radikalisme.

Padahal mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menilai pemerintah tidak bisa secara sepihak memblokir sejumlah situs web yang dianggap bermuatan paham radikalisme. Menurut beliau, pemblokiran situs web tersebut harus melalui putusan pengadilan negeri, sebagaimana dilansir Kompas (31/3/2015).

Lanjut beliau, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa penindakan atas situs web harus melalui pengadilan. Jika tak ada izin dari pengadilan, maka pemerintah tidak berhak untuk memblokir situs-situs tersebut. Karna hal tersebut sudah menyangkut hak, MK sudah pernah menerbitkan vonis, sebelum ada keputusan pengadilan, tidak bisa melakukan pemblokiran sepihak. 

Semua dari kita tentu sepakat menolak terorisme dan radikalisme dan kita berlepas diri dari segala bentuk terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama khususnya islam. Namun kita juga menolak sudut pandang saudara Ahmad Dicky, Kemenkominfo dan BNPT dalam memaknai radikalisme dan terorisme yang seolah men-generalisir simbol-simbol islam yang banyak dijumpai pada kelompok-kelompok yang dianggap radikal adalah mutlak sebagai simbolisasi terorisme dan radikalisme. 

Juga sikap curiga yang berlebihan terhadap umat islam yang hanya ingin kaffah menjalankan syari'at islam dan mengamalkan sunnah Rasulullah Saw dalam kehidupan, sehingga ketika mendapati seorang muslim memelihara janggut, menggunakan celana yang tidak isbal, membahas tentang jihad dan permasalahan umat yang dizolimi diseluruh penjuru dunia, muslimah menggunakan niqab dan atribut sunnah lainnya yang jelas merupakan bentuk kecintaan terhadap Nabinya dan salah satu sebab masuk surganya seorang muslim.
Rasulullah bersabda: 

 “Barang siapa menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku, dan barang siapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga “ ( HR. Thabrani dari Anas ibnu Malik)

“Barangsiapa yang berpegang teguh dengan sunnahku di saat rusaknya umatku, maka baginya pahala seperti pahala orang mati syahid.” (Ath-Thabrani)

Jangan karna ingin memberantas satu kelompok, seluruh umat islam di jadikan sasaran. Sangat tidak bijak ketika hendak memburu singa, lantas membakar seluruh hutan, sebagaimana Amerika yang serampangan dengan dalih ingin memerangi Usamah bin Ladin, Taliban dan Al-Qaeda tapi mengorbankan seluruh warga sipil Irak dan Afganistan.
Begitu Pula pembolikran yang  bahkan dengan jelas diakui oleh pihak Kemenkominfo bahwa mereka tidak terlalu dalam meneliti media yang dianggap menyebarkan dan mendukung radikalisme. Karna hal ini jelas menodai UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 tentang pers yang disahkan oleh bapak BACHARUDIN JUSUF HABIBIE yakni :
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3
  1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.  
Pasal 4
  1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
  2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Kita tidak menafik adanya media-media yang mempropagandakan kelompok-kelompok tertentu yang di anggap radikal dam mempropagandakan radikalisme, namun kita juga membela beberapa media yang masuk dalam daftar pemblokiran adalah media yang amanah, jujur dan tulus menyampaikan kebenaran kepada umat, bahkan ada dari mereka yang justru turut andil dalam mendukung pemberantasan terorisme dan kelompok yang di tuduhkan oleh BNPT sebagai kelompok teroris.

Sebagaimana hidayatullah.com, yang telah berkhidmat untuk umat selama 26 tahun, bukan hanya memberi pencerahan lewat tulisan, mereka bahkan mengirim da'i langsung kepedalaman Indonesia, atau arrahmah.com yang banyak memberi pencerahan tentang keadaan saudara-saudara muslim kita di daerah konflik dan menggugah hati umat untuk membantu perjuangan mereka dengan harta, jiwa atau sekedar doa. Juga gemaislam.com yang justru senantiasa beraudiensi dengan BNPT, misalnya pada 22 Juni 2014 Gema Islam mengundang ulama BNPT pada kegiatan yang mereka selenggarakan, pada Agustus mereka mengundang ulama BNPT Saudi bahkan Prof. Irfan Idris selaku Jubir BNPT sendiri menghadiri acara yang mereka selenggarakan.

Satu hal yang kita tangkap dari pemblokiran 22 situs Islam adalah terdapatnya satu pandangan dan topik yang diangkat oleh media-media tersebut, yakni peringatan akan bahanya Syi'ah. Sedang situs-situs Liberal, Komunis, dan Syi'ah tidak serta merta ikut mereka blokir, padahal mereka jauh lebih sesat, lebih berbahaya, lebih besar makarnya dan lebih mengancam kedaulatan NKRI. Kita masih belum lupa dengan peristiwa G-30 S PKI, dan serangan segerombolan Syi'ah terhadapa majelis Dzikir Az-Zikra binaan Ust.Arifin Ilham, konflik Sampang, Madura dan masih banyak lainnya. Permasalahan Syi'ah bukan hanya sekedar masalah aqidah, tapi jaga sudah masuk kedalam ranah politik, karena dalam Pandangan Syiah, Imamiyah wajib hukumnya, maka memperjuangkan dengan menumpahkan darah juga adalah wajib. Banyak negara yang telah menjadi korbannya, Iran, Lebanon, Iraq, Suriah dan yang terbaru adalah Yaman. dan bukan tidak mungkin Indonesia adalah sasaran selanjutnya.

Jangan sampai membuat umat semakin curiga, bahwa jangan-jangan BNPT merupakan perpanjangan tangan untuk meluruskan misi tertentu suatu kelompok, atau ingin mengulang sejarah era orde lama. Karena jika memang betul demikian adanya, sungguh dakwah islam tidak akan terbendung. Ia bagai air yang menjadi kebutuhan penting manusia, dan akan semakin kuat laju dan tekanannya ketika dibendung sekuat apa pun.


وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَىٰٓ إِلَى ٱلْإِسْلَٰمِ ۚ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim".

يُرِيدُونَ لِيُطْفِـُٔوا۟ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفْوَٰهِهِمْ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْكَٰفِرُونَ
"Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". (Qs: 61, 7-8)

Kemudian untuk BNPT, Kemenkominfo dan lembaga pemerintah yang lain marilah kita dengarkan kemudian sesegera mungkin merealisasikan dan mengamalkan nasihat dari Imam Besar New York, Amerika Serikat, Shamsi Ali yang meminta pemerintah untuk membuat kriteria paham radikal termasuk kriteria bagi media penyebar paham radikal. Dasarnya, karen apabila pemerintah tidak memiliki kriteria sebagai dasar yang kuat, maka pemblokiran situs Islam bisa dianggap mengekang kebebasan berbicara dan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia serta warga negara.
Ali yang bertahun-tahun tinggal di Amerika Serikat melihat bahwa sebagai negara adidaya, pemerintah AS tidak melakukan pemblokiran situs-situs Islam selama situs-situs tersebut tidak mengajak pada hal-hal negatif, karna hal tersebut dianggap sebagai kebebasan opini yang merupakan bagian dari demokrasi yang selama ini digaung-gaungkan.

Menurut Ali, Islam memerlukan media untuk penyebarannya. Namun, media yang mendukung penyebaran Islam adalah media yang memiliki karakter Islam. Jujur, tidak manipulatif, dan menjaga Ukhwuwah dan toleransi beragama. Bukan media yang hanya mengatasnamakan Islam akan tetapi menginjak nilai-nilai Islam. 


Wallahu a'lam

3 komentar: